Jumat, 05 Februari 2016

Tari Lulo dari Suku Tolaki

Matahari sudah beranjak meninggalkan singgasananya dan jingga pun sudah berubah warna saat saya dan saudara yang lain tiba di tempat tujuan. Keramba Pesona Alam, tempat tujuan kami untuk makan malam pada hari itu. Makan malam di keramba merupakan suatu hal yang baru bagi saya, mungkin juga bagi saudara saya. Besar di kota Makassar yang tidak memiliki keramba di sudut kota, membuat kami sangat antusias berada di sini. Hasil pancingan yang kami dapat langsung diolah di tempat dengan diberikan olesan minyak kelapa yang sudah dicampur dengan bawah putih yang sudah ditumbuk dan dicampur dengan kecap. Aroma yang dihasilkan menggugah selera dan membuat perut kami segera ingin diisi.

Saya dan pemilik keramba masih mencoba peruntungan melalui kail demi kail yang kami lempar. Istrinya yang masih mengenakan pakaian pesta bewarna merah. Bagian dada dan pergelangan tangan dipenuhi manik-manik. Jilbab yang dikenakan senada dengan warna pakaiannya. Perempuan itu berlari-lari kecil menghampiri kami, membuat papan keramba sedikit bergoyang.

“Ayo pergi Lulo nak.” ajakan ibu tersebut kepada saya. Tanpa sempat membalas ajakannya, ibu separuh baya sudah berlalu meninggalkan kami.

Lulo? Apa itu Lulo? kenapa ibu tadi mengajak. Melihat muka kebingungan saya, om Igo, suami dari tante saya, yang saat itu berada dekat dengan saya hampir tertawa melihat saya kebingungan sendiri. Molulo atau sebutan yang sering dipakai adalah Lulo merupakan tarian tradisi di daerah ini saat ada acara-acara penting, "seperti pesta pernikahan, pesta panen raya, atau penyambutan tamu.” jelas om Igo yang masih sibuk dengan membenarkan posisi umpannya di kail.

Ya saya ingat, setibanya di sini ada pesta pernikahan di samping rumah pemilik keramba. Saat pertama kali tiba, saudara saya yang pernah menetap lama di Pomala dan Kota Kendari yang identik dengan tarian lulo, sempat mengajak saya untuk ikut Molulo, tetapi ajakannya tidak saya perhatikan karna saking antusiasnya ingin segera memancing.

Tidak berselang lama saat istri pemilik keramba telah selesai menyiapkan makanan di atas meja kayu panjang di atas keramba, ibu datang kembali menghampiri kami tetapi dengan kostum yang sudah berbeda. Ibu itu mengenakan celana panjang jeans dan kaos abu-abu ketat lengan pendek. Sekali lagi, ibu itu mengajak dengan sedikit memaksa. Katanya jarang-jarang saya dapat momen seperti ini, apalagi saya baru pertama kali ke Kendari dan belum pernah ikut atau menyaksikan Molulo. Di kota Kendari tarian ini sudah tidak terlalu banyak ditampilkan, hanya pada saat penyambutan tamu-tamu penting atau acara ulang tahun kota, jadi sangat beruntung jika saya dapat memanfaatkan kesempatan ini.

“Kalau ada acara orang kawin di sini, yang ditunggu-tunggu itu Lulonya, mau ibu-ibu, bapak-bapak, apalagi anak mudanya senang sekali kalau ada acara Lulo”. Om Igo menambahkan dengan suara serak dan dialek khas orang Kendari

“Saya itu sampai sekarang suka ka pergi Lulo, hitung-hitung olahraga”. Timpal temannya om Igo.

“Ayo mi pergi Lulo, kita coba-coba mi dulu, simpanmi pancing mu, nanti bisa ji lagi kita pergi mancing”. Ajak om Igo, sambil berdiri dan menyimpan alat pancing yang sedari tadi dipegangnya.

...

Tepat pukul 9 malam, kursi-kursi plastik disusun ke atas dan dipindahkan di pinggir tenda, seketika tempat untuk menjamu tamu di bawah tenda menjadi lapang. Saya  pikirnya pesta pernikahannya telah usai, karena tidak ada lagi tempat untuk menjamu tamu. Tapi ternyata dugaan saya salah.

Molulo dulunya dilakukan di tempat yang luas atau lapangan, tapi karena mengikuti zaman dan sudah kurangnya lahan kosong yang datar, maka tempat untuk menjamu tamu disulap menjadi tempat Lulo untuk para keluarga, tamu dan penduduk sekitar.

Musik pun dimainkan, ada dangdut koplo ataupun lagu yang sudah diremix, orang-orang mulai membentuk lingkaran. Saling bergandeng tangan. Telapak tangan laki-laki berada di atas telapak tangan perempuan. Setelah membentuk lingkaran dan bergandeng tangan, mulailah semuanya bergoyang mengikuti irama. Goyangannyapun hanya maju mundur dan ke kiri - ke kanan. Terlihat dari wajah mereka sangat bahagia, riuh tawa dan suara musik dari elekton menjadi satu. Benar-benar tercipta keakraban di antara mereka, tidak memandang usia ataupun suku, semuanya berbaur menjadi satu dan bersuka cita.

...

Menurut Wikipedia tarian Molulo atau  Lulo berasal dari bahasa Tolaki yaitu Molulo, merupakan salah satu jenis  kesenian  tari tradisional dari daerah Sulawesi Tenggara, Indonesia. Suku Tolaki sebagai salah satu suku yang berada di daerah ini memiliki beberapa tarian tradisional, salah satu tarian tradisional yang masih sering dilaksanakan hingga saat ini adalah tarian persahabatan yang disebut tarian Lulo.

Pada zaman dulu, tarian ini dilakukan pada upacara-upacara adat seperti, pernikahan, pesta panen raya dan upacara pelantikan raja, yang diiringi oleh alat musik pukul yaitu gong. Tarian ini dilakukan oleh pria, wanita, remaja, dan anak-anak yang saling berpegangan tangan, menari mengikuti irama gong sambil membentuk sebuah lingkaran. Gong yang digunakan biasanya terdiri dari 2 macam yang berbeda ukuran dan jenis suara. Saat sekarang utamanya di daerah perkotaan, gong sebagai alat musik pengiring tarian Lulo telah digantikan dengan alat musik modern yaitu “Electone”.

“Dulu itu, Lulo pakai gong, tapi karena susahmi didapat gong, makanya sekarang pake electon saja. Dulu juga kalau Lulo, tidak bisa campur-campur orangnya. Kalau laki-laki ya laki-laki semua, begitupun sebaliknya, tapi sekarang bisa mi campur-campur orangnya”. Om Igo menjelaskan kembali.

Pada awalnya, tari Lulo merupakan ritual untuk memuja Dewi Padi terutama pada seusai panen. Kata Lulo sendiri berarti menginjak-injak onggokan padi untuk melepaskan bulir dari tangkainya.

Ada pula versi yang berkembang yang dijelaskan oleh om Igo bahwa tari Lulo pada awalnya lahir ketika masyarakat Tolaki kuno akan membuka lahan yang dijadikan sebagai tempat bercocok tanam. Pada saat itulah masyarakat berkumpul pada lahan baru yang akan dibuka itu dan meminta kepada penguasa alam agar nanti tanaman mereka tidak diganggu oleh serangan hama dan penyakit. Ketika masyarakat telah berkumpul, kepala suku memberikan perintah untuk membentuk lingkaran, saling bergandengan tangan dan menginjak-injak kaki yang disertai dengan bunyi alunan musik gong.
Ada beberapa versi memang, asal usul tari Lulo ini, tapi inti dari semuanya adalah persahabatan dan tarian rasa syukur kepada sang pencipta.

...

Melakukan tari Lulo adalah pengalaman pertama bagi saya, sempat kikuk awalnya, karena saya tidak terbiasa menari ataupun bergoyang bersama-sama, apalagi sambil bergandeng tangan. Hanya memerhatikan yang lain dan akhirnya saya sudah mulai bisa menyesuaikan gerakan mereka. Ada hal yang membuat saya senang ditengah-tengah mereka, yaitu keakraban yang terjalin, dan hal serupa pun dirasakan oleh sepupu dan orang-orang yang sempat saya tanya-tanya tentang kesan pertama saat melakukan Lulo. Menurut Ilham, salah satu pegawai sepupuku yang mengaku suka ikut Lulo sejak kecil hingga dewasa, menjadikan Lulo ini sebagai ajang kumpul keluarga ataupun kerabat bahkan dia mengaku mendapatkan jodoh pada saat ikut Lulo.

Walaupun banyak hal yang berubah dari tarian ini, mulai dari pakaian yang dikenakan yang seharusnya mengenakan pakaian adat, musik dan variasi gerakan juga banyak berubah, seperti yang dicontohkan oleh om Igo, perbedaan gerakan tarian yang menghentakkan kaki seolah-olah menginjak padi, terkadang tidak dilakukan oleh orang yang baru pertama kali ikut Lulo, itu dikarenakan kurang pahamnya mereka terhadap tarian ini. Tetapi terlepas dari semua itu makna dari Lulo ini tetap abadi, yaitu suka cita dan menciptakan keakraban.

Tari Lulo sendiri telah membuktikan diri sebagai tarian tradisional yang mampu hidup dengan berbagai derasnya arus modernitas. Dalam banyak kasus, tradisi kesenian lokal biasanya akan punah jika berhadap-hadapan dengan seni kontemporer. Namun tari Lulo merupakan tarian yang memiliki daya resistensi yang cukup kuat terhadap pengaruh modernitas. Salah satu faktor yang menyebabkan tari Lulo tetap dikenal sepanjang sejarah masyarakat Kendari adalah kemampuannya untuk menerima perubahan dengan tanpa kehilangan cirinya.


0 komentar:

Posting Komentar

 

Traveller | Owlry Template by Ipietoon Cute Blog Design