Kamis, 17 Desember 2015

Maaf, Saya Sibuk!

Saya pernah membaca postingan di sosial media. Bunyinya kira-kira seperti ini, ada satu titik dimana kita akan menengok ke belakang. Teman-teman yang dulu selalu bersama satu per satu hilang, bahkan merasa “is it just me?”. Mulai dari yang saling sapa, bertemu setiap hari, tertawa bersama, foto bersama sampai makan bersama. Kelak semua akan sibuk sendiri-sendiri, mau bertemu susah, bahkan mau menyapa juga susah. Kalau sudah seperti ini, mau salahkan siapa? Tidak ada! Memang semua masanya sudah habis.

Sambil menghela nafas panjang, saya seakan memutar kembali kenangan yang ada di otak. Saya kemudian mencoba mengingat-ingat kapan terakhir saya berkumpul, tertawa bersama, atau hanya sekadar bercerita lepas sepanjang malam bersama mereka. Mereka yang sering menjengkelkan ternyata membuat saya rindu. Mereka adalah teman-teman saya di bangku SMA.

Setelah lulus di SMA dan melanjutkan pendidikan ke Universitas pilihan masing-masing, kami masih sering bertemu walaupun tidak sesering waktu SMA dulu. Kami menyempatkan bertemu seminggu dua kali atau seminggu sekali. Kami rasa itu sudah cukup, karena padatnya jadwal sebagai mahasiswa baru.

Mungkin dapat dimaklumi, sebagai mahasiswa baru, banyak kegiatan-kegiatan kampus yang harus kami ikuti. Alibi pertama yang kuat untuk dijadikan alasan jarang bertemu. Ini juga yang  menjadi awal alasan-alasan berikutnya.

Bergabung di kegiatan extrakurikuler atau organisasi kampus ditambah dengan tugas yang begitu banyak semakin membuat kami jauh. Bertemu dengan kawan-kawan yang baru semakin membuat kami saling “melupakan” satu sama lain. Sepertinya masa perkawanan kami saat SMA telah habis.

Tapi, saya dan beberapa teman sesungguhnya tidak menginginkan masa perkawanan kami memiliki waktu kadaluarsa. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak terlibat dalam organisasi kampus.  Dengan begitu, saya tidak sesibuk yang lainnya.

Mengambil inisiatif untuk mengumpulkan mereka semua, ternyata tidak segampang yang saya kira. Mencari waktu kosong mereka dan menyesuaikan dengan yang lain ternyata sangat susah. Ketika mereka diajak untuk bertemu, jawaban yang saya dapat hanya berupa ungkapan maaf, “Maaf, saya ada kegiatan kampus” atau “Maaf, tugas kampus saya begitu banyak Jawaban yang membuat darah saya naik ke ubun-ubun. Sambil bergumam dalam hati “Belum jadi apa-apa saja, susahnya minta ampun untuk ketemu. Bagaimana kalau mereka sudah jadi orang terkenal?”.

Akhirnya, saya putuskan untuk mencari kesibukan sendiri berusaha menghilangkan kekesalan yang terbawa selama berminggu-minggu hingga lupa bahwa saya pernah marah soal itu.

***

Dua tahun kemudian

Memutuskan untuk kuliah sambil kerja ternyata membuat saya semakin sibuk, bahan lebih sibuk dibanding dengan yang lain. Kampus dan kantor menjadi saksi keseharian saya. Sementara mereka sekadar  aktif di dunia kampus saja atau cukup memilih untuk berkarir dulu.

Membagi waktu antara kuliah, kerja, berkumpul bersama teman-teman bahkan berkumpul bersama keluarga pun susah. Ternyata bekerja sebagai buruh media membuat waktu tidak cukup untuk melakukan hal lain diluar pekerjaan saya. Kalaupun bisa, saya harus pintar-pintar untuk membagi waktu, mengingat tubuh saya juga memiliki hak untuk istirahat sejenak.

Bekerja dari hari Senin sampai Sabtu, atau bahkan dari Senin hingga ke Seninnya lagi pernah saya alami. Sejak pagi hingga malam, bahkan berjumpa pagi lagi, juga pernah saya lakukan. Rutinitas yang begitu padat membuat saya jarang bersosialisasi dengan teman-teman lama bahkan dengan keluarga.

Pernah sekali, ada acara pernikahan sepupu, semua keluarga berkumpul dan mengenakan pakaian seragam yang telah dijahit jauh hari sebelumnya. Saya datang terlambat, bahkan sangat terlambat, dan masih mengenakan pakaian kantor. Berhubung waktu itu saya baru pulang liputan di luar kota dan belum sempat mengganti pakaian karena takut terlambat datang ke acara resepsi pernikahan sepupu. Alhasil, setelah acara selesai, saya mendapat wejangan-wejangan panjang dari tante dan om bahwa keluarga harus dinomor satukan.

Lain halnya dengan teman-teman yang dulu terlalu sibuk. Dunia memang berputar, dan keadaan tidak selalu sama. Mereka yang dulu sibuk kini malah sering mengajak untuk bertatap muka. Kali ini giliran saya yang mengatakan “maaf” kepada mereka. Bukan untuk balas dendam, tapi memang keadaan yang tidak memungkinkan untuk dapat bertemu dengan mereka.

Mungkin apa yang saya rasakan waktu itu, sekarang dirasakan juga oleh mereka. Tapi mau dikata apa lagi, memang waktu saya tidak cukup banyak untuk berleha-leha bersama mereka.

Banyak peristiwa-peristiwa penting yang mereka lalui dan saya melewatkannya. Mulai dari wisuda mereka, pernikahan teman yang tak sempat saya hadiri hingga peristiwa-peristiwa lainnya.

Beberapa kali saya merasa tidak memiliki teman karena selalu sibuk. Terlalu tak acuh terhadap lingkungan luar dan hanya berkutat dilingkungan yang itu-itu saja, membuat saya tidak peka terhadap mereka, terhadap keluarga.

Beruntung memiliki teman-teman dan keluarga yang selalu mendukung ketika saya merasa tidak memiliki mereka. Selalu berusaha menjaga silahturahmi walaupun beberapa kali saya menolak ajakan mereka dengan alasan sibuk atau tak punya waktu. Bahkan rumah hanya dijadikan tempat singgah untuk tidur ataupun untuk bersembunyi dari segala panggilan kantor.

Entah berapa kali ucapan “maaf” saya lontarkan untuk menolak ajakan mereka. Namun demikian, mereka tetap mengerti dan berusaha untuk bertemu, walaupun terkadang harus menunggu saya datang hingga larut malam.

Mencari uang bekerja sebagai buruh media memang menjadi salah satu impian saya, tapi tidak membuat saya untuk melupakan dunia di luar pekerjaan saya. Saya sadar dengan semakin banyak waktu yang saya habiskan didunia kerja, maka semakin banyak hal yang saya lewatkan bersama teman-teman dan keluarga. Menjadi orang asing di lingkungan sendiri itu sangat tidak menyenangkan.

Banyak hal yang saya dapatkan dari beberapa tahun belakangan, dimana saya sedang sibuk-sibuknya dan melupakan bersosialisasi dengan yang lain. Mendapatkan yang benar-benar teman dan merasakan bahwa keluarga memang segalanya. Materi dan prestasi yang saya dapatkan tidak membuat mereka cukup bangga. Kehadiran, kepedulian dan dianggap memang penting dibandingkan dengan kerjaan. Itu merupakan suatu hal yang membuat mereka merasa lebih berarti dan bangga memiliki saya.


Setidaknya, saya mulai belajar untuk tidak melontarkan kata “Maaf, saya sibuk” ketika ada ajakan. Saya pernah meraskan arti dari sebuah kata penolakan, dan itu tidak baik.

2 komentar:

  1. maaf, saya sibuk!
    saya sibuk membaca (lagi) postingan di atas.

    BalasHapus
  2. Saya pun pernah mendapatkan wejangan tentang : keluarga harus dinomor satukan. :D

    BalasHapus

 

Traveller | Owlry Template by Ipietoon Cute Blog Design