Saya pernah membaca postingan di sosial media. Bunyinya kira-kira seperti
ini, ada
satu titik dimana kita akan menengok ke belakang. Teman-teman yang dulu selalu bersama satu per satu hilang, bahkan merasa “is it just me?”. Mulai dari
yang saling sapa, bertemu
setiap hari, tertawa bersama,
foto bersama sampai
makan bersama. Kelak semua
akan sibuk sendiri-sendiri, mau bertemu
susah, bahkan mau menyapa juga susah. Kalau
sudah seperti ini, mau
salahkan siapa? Tidak
ada! Memang semua masanya sudah habis.
Sambil menghela nafas panjang, saya seakan memutar kembali kenangan
yang ada di otak. Saya kemudian mencoba
mengingat-ingat kapan terakhir saya berkumpul, tertawa bersama, atau hanya sekadar bercerita lepas sepanjang malam
bersama mereka. Mereka yang sering menjengkelkan ternyata
membuat saya
rindu. Mereka adalah teman-teman saya
di
bangku SMA.
Setelah lulus di SMA
dan melanjutkan pendidikan ke Universitas pilihan masing-masing, kami masih
sering bertemu walaupun tidak sesering waktu SMA dulu. Kami menyempatkan bertemu seminggu dua kali atau seminggu
sekali. Kami
rasa itu sudah cukup, karena padatnya
jadwal sebagai mahasiswa baru.
Mungkin dapat
dimaklumi, sebagai mahasiswa baru, banyak kegiatan-kegiatan kampus yang harus
kami ikuti. Alibi pertama
yang kuat untuk dijadikan alasan jarang bertemu. Ini juga yang menjadi awal alasan-alasan berikutnya.
Bergabung di kegiatan
extrakurikuler
atau organisasi kampus ditambah
dengan tugas
yang begitu banyak semakin
membuat kami jauh. Bertemu
dengan kawan-kawan yang baru semakin membuat kami saling “melupakan” satu sama lain.
Sepertinya masa perkawanan kami saat SMA telah habis.
Tapi, saya dan beberapa
teman sesungguhnya tidak
menginginkan masa perkawanan kami memiliki waktu kadaluarsa. Akhirnya saya memutuskan untuk
tidak terlibat dalam organisasi kampus. Dengan begitu, saya tidak sesibuk yang
lainnya.
Mengambil inisiatif untuk mengumpulkan mereka semua, ternyata
tidak segampang yang saya kira. Mencari waktu kosong mereka dan menyesuaikan
dengan yang lain ternyata sangat susah. Ketika mereka diajak untuk bertemu, jawaban
yang saya dapat hanya berupa
ungkapan maaf, “Maaf,
saya ada kegiatan kampus” atau “Maaf, tugas kampus saya begitu
banyak” Jawaban
yang membuat darah saya naik ke
ubun-ubun. Sambil bergumam dalam hati “Belum jadi apa-apa saja, susahnya
minta ampun untuk
ketemu. Bagaimana
kalau mereka sudah
jadi orang terkenal?”.
Akhirnya, saya putuskan untuk mencari kesibukan sendiri berusaha menghilangkan kekesalan
yang terbawa
selama berminggu-minggu hingga lupa bahwa saya pernah marah soal itu.
***
Dua
tahun kemudian
Memutuskan untuk kuliah
sambil kerja ternyata membuat saya semakin sibuk, bahan lebih sibuk dibanding dengan yang lain.
Kampus dan kantor menjadi saksi keseharian saya.
Sementara mereka sekadar aktif di dunia kampus saja atau cukup memilih untuk berkarir dulu.
Membagi waktu antara
kuliah, kerja, berkumpul bersama teman-teman bahkan berkumpul bersama keluarga
pun susah. Ternyata bekerja sebagai buruh media membuat waktu tidak cukup untuk
melakukan hal lain diluar pekerjaan saya. Kalaupun bisa, saya harus pintar-pintar
untuk membagi waktu, mengingat tubuh saya juga memiliki hak untuk istirahat
sejenak.
Bekerja dari hari Senin sampai Sabtu, atau bahkan dari Senin hingga ke Seninnya lagi pernah saya alami. Sejak pagi hingga malam, bahkan berjumpa
pagi lagi, juga pernah saya lakukan. Rutinitas yang begitu padat membuat saya
jarang bersosialisasi dengan teman-teman lama bahkan dengan keluarga.
Pernah sekali, ada
acara pernikahan
sepupu, semua keluarga berkumpul dan
mengenakan pakaian seragam yang telah dijahit jauh hari sebelumnya. Saya datang
terlambat,
bahkan
sangat terlambat, dan masih mengenakan
pakaian kantor. Berhubung waktu itu saya
baru pulang liputan di luar
kota dan belum sempat mengganti pakaian karena takut terlambat datang ke acara
resepsi pernikahan sepupu. Alhasil, setelah acara selesai, saya mendapat
wejangan-wejangan panjang dari tante dan om bahwa keluarga harus dinomor
satukan.
Lain halnya dengan
teman-teman yang dulu terlalu sibuk. Dunia memang berputar, dan keadaan tidak selalu sama. Mereka yang dulu
sibuk kini malah sering mengajak untuk bertatap muka. Kali ini giliran saya yang mengatakan
“maaf” kepada mereka. Bukan untuk balas dendam, tapi memang keadaan yang tidak
memungkinkan untuk dapat bertemu dengan mereka.
Mungkin apa yang saya
rasakan waktu itu, sekarang dirasakan juga oleh mereka. Tapi mau dikata apa lagi, memang waktu saya tidak cukup banyak untuk berleha-leha bersama mereka.
Banyak
peristiwa-peristiwa penting yang mereka lalui dan saya melewatkannya. Mulai dari wisuda mereka, pernikahan
teman yang tak sempat saya hadiri hingga
peristiwa-peristiwa
lainnya.
Beberapa kali saya
merasa tidak memiliki teman karena selalu sibuk. Terlalu
tak acuh terhadap lingkungan luar dan hanya berkutat dilingkungan yang itu-itu
saja, membuat saya tidak peka terhadap mereka, terhadap keluarga.
Beruntung memiliki
teman-teman dan keluarga yang selalu mendukung ketika saya merasa tidak
memiliki mereka. Selalu berusaha menjaga silahturahmi walaupun beberapa kali
saya menolak ajakan mereka dengan alasan sibuk atau tak punya waktu. Bahkan
rumah hanya dijadikan tempat singgah untuk tidur ataupun untuk bersembunyi dari
segala panggilan kantor.
Entah berapa kali
ucapan “maaf” saya lontarkan untuk menolak ajakan mereka. Namun demikian, mereka
tetap mengerti dan berusaha untuk bertemu, walaupun terkadang harus menunggu
saya datang hingga larut malam.
Mencari uang bekerja
sebagai buruh media memang menjadi salah satu impian saya, tapi tidak membuat
saya untuk melupakan dunia di luar pekerjaan saya. Saya sadar dengan semakin banyak waktu
yang saya habiskan didunia kerja, maka semakin banyak hal yang saya lewatkan
bersama teman-teman dan keluarga. Menjadi orang asing di lingkungan
sendiri itu sangat tidak menyenangkan.
Banyak hal yang saya
dapatkan dari beberapa tahun belakangan, dimana saya sedang sibuk-sibuknya dan
melupakan bersosialisasi dengan yang lain. Mendapatkan yang benar-benar teman
dan merasakan bahwa keluarga memang segalanya. Materi dan prestasi yang saya
dapatkan tidak membuat mereka cukup bangga. Kehadiran, kepedulian dan dianggap memang penting dibandingkan dengan kerjaan.
Itu merupakan suatu hal yang membuat
mereka merasa lebih berarti dan bangga memiliki saya.
Setidaknya, saya mulai
belajar untuk tidak melontarkan kata “Maaf,
saya sibuk” ketika ada ajakan. Saya
pernah meraskan arti dari sebuah kata penolakan, dan itu tidak baik.
maaf, saya sibuk!
BalasHapussaya sibuk membaca (lagi) postingan di atas.
Saya pun pernah mendapatkan wejangan tentang : keluarga harus dinomor satukan. :D
BalasHapus