Sabtu, 30 Januari 2016

Epitaf Terakhir

Kepulan asap kopi yang membumbung tinggi di langit-langit rumah, menandakan kepergianmu pagi itu. Kuambil dan kuminum sedikit demi sedikit hingga terasa di mulut, turun ke tenggorokan, tapi rasanya aneh, bukan seperti kopi yang kuminum kemarin.

Kucoba menulis sepucuk surat yang menghadirkan gurindam-gurindam indah, bak seorang penyair melayu, berharap engkau berresurjensi dan dapat pulang kembali kesini. Ke rumah yang semestinya.

Kuingat waktu itu, beberapa tahun yang lalu, saat pertama kali kita bertatap muka. Kau hadir dengan senyum indahmu, kulit kecoklatan, rambut panjang terurai, layaknya seorang artis india, begitu memukau. Hingga tak kusadar, mata ini tak berkedip sepersekian detik. Mungkin yang lain juga sedang bersolilokui dan berkelahi dengan pikirannya sendiri.

Suara tawa menggema dan bergelayut di dinding-dinding ruangan, memecah khayalan dan pandanganku yang terpenjara di senyummu. Ahh.. mengingatmu menguji mata ini untuk tidak terus menerus mengalirkan air dari telaga mataku.

Kanker pankreas yang membawamu ke pusara terakhir, membuat senyum di wajah manismu setiap detik, setiap menit bahkan setiap waktu mulai memudar dari wajahmu dan kembali terukir di epitaf pusaramu.

Ahh.. mesti kuapakan boneka sapi milikmu ini? Karena hanya dengan melihatnya, wajahmu kembali terlukis dihadapanku. Mungkin kusimpan saja, sebagai tanda bahwa kau pernah hadir mengisi hari-hariku.

Selamat jalan sahabat. Hanya epitaf ini yang kupersembahkan untukmu, untuk terakhir kalinya.

#permainankata #kelasmenuliskepo #kmkepo

Ini adalah permainan kata yang dilakukan saat pertemuan kelas menulis kepo, yaa tujuannya adalah menambah kosakata dan mendapatkan ide dari 17 kata yang disebutkan oleh setiap siswa di kelas menulis kepo dan dibuat menjadi sebuah tulisan.

Jumat, 08 Januari 2016

Kenapa Harus Bekerja di Media?

“Kenapa harus bekerja di media?”

Pertanyaan tersebut kembali muncul, setelah enam tahun yang lalu, ketika seorang teman bertanya demikian. Ada pula yang bertanya,”kenapa memilih pekerjaan yang lebih banyak menghabiskan waktu di luar?”

Pertanyaan tersebut selalu hadir pada setiap kesempatan kumpul keluarga ataupun saat bercanda gurau bersama teman. Membalasnya dengan senyum adalah jawaban yang terbaik yang saya berikan, walaupun dapat berarti ganda bagi sang penanya.

“enakkah kerja di media?”
“apa yang didapatkan di sana, dengan gaji yang rendah?”

Ya saya akui, kerja di media tidak dapat menghasilkan uang yang berlimpah. Jika kalian ingin bekerja dan mendapatkan gaji yang tinggi, jangan bercita-cita kerja di media. Tapi apakah ada yang lebih menyenangkan ketika suatu hobi dihargai dengan sejumlah uang?

Empat tahun bekerja di media, lebih tepatnya empat tahun melakukan hobi yang dibayar ini, saya lakukan dengan sepenuh hati.

Menyenangkan? Sangat menyenangkan tentunya.
Tidak menyenangkan? Pasti ada.

Disini saya sedikit menceritakan hal-hal yang menyenangkan selama menekuni hobi berbayar saya.

Menjadi seorang jurnalis dan pembaca berita adalah impian dari dulu. Memiliki hobi jalan-jalan dan kepercayaan diri yang tinggi membuat saya semakin ingin mendalami profesi tersebut.

Selama bekerja di media, ada banyak hal yang saya dapatkan. Dikenal banyak orang, tentu. Sangat menyenangkan pula jika dapat memberikan informasi yang faktual dan dapat dipercaya oleh masyarakat.

Lebih dari itu, bekerja di media adalah passport untuk masuk ke tempat-tempat yang masyarakat awam tidak dapat mengaksesnya. Seperti gedung putih atau dalam lingkup yang lebih kecil adalah rumah jabatan gubernur. Selain itu menjadi seorang jurnalis juga memiliki banyak kesempatan bepergian keluar kota atau tempat-tempat yang belum pernah di kunjungi sebelumnya, walaupun dalam situasi kerja tapi itu tetap mengasyikan karena gratis.

Menjadi seorang jurnalis juga menuntut saya untuk dapat lebih peka terhadap suatu lingkungan dan keadaan tertentu. Seperti saat ingin memberitakan warga yang mengalami busung lapar ataukah ada warga yang tidak dilayani dengan baik di suatu layanan kesehatan ataupun di pemerintahan. Contoh kasus tersebut cukup banyak dan biasa di jumpai di beberapa lapisan masyarakat, tetapi kejadian tersebut seakan luput dari perhatian warga sekitar. Tetapi ketika berita itu ditayangkan, tentu akan berefek ke instansi terkait bahkan ke pemerintah setempat.

Bertemu dengan orang-orang baru setiap hari dengan karakter yang berbeda-beda dan membuka jalan untuk lebih banyak mendapatkan relasi, tentu itu merupakan hal yang menyenangkan.

Saya percaya, semua hal punya sisi baik dan buruknya, begitu juga kerja di media.

Bukan hanya hal yang menyenangkan yang saya dapatkan selama bekerja di media tetapi hal yang kurang menyenangkanpun saya alami.

Kami pekerja media, bukan orang yang bisa leyeh-leyeh dan enak-enakan duduk di kantor seharian. Kami dituntun untuk bisa dihubungi kapanpun, karena di media tidak ada namanya jam masuk kantor ataupun jam keluar kantor yang jelas atau dengan kata lain tidak ada jadwal yang tentu setiap harinya. Tapi itu tidak menjadi masalah besar buat saya, karena bekerja di dalam kantor seharian penuh bukan jenis pekerjaan yang saya inginkan.

Saat yang lain mudik hari raya dan makan opor ayam bersama keluarga, saya malah harus menghabiskan waktu di kantor selama hari raya dan makan opor ayam bersama teman kantor yang bertugas pada hari itu.

Karena jam kerja yang terkadang tidak teratur dan tuntutan yang tinggi, kami para buruh media harus menjaga kesehatan dengan baik. Itu semua untuk menjaga badan dari makan dan tidur yang kurang teratur.

Kembali ke pertanyaan awal, “kenapa harus bekerja di media?” atau lebih tepatnya, kenapa saya mau bekerja dilingkungan seperti ini. Jawabanya cuman satu, saya mencintai pekerjaan ini karena bisa menyalurkan hobi. Dan bagaimana cara membuat pekerjaan ini menjadi tetap dicintai adalah I make it fun. Saya membuatnya menjadi asyik, bukan orang lain yang membuatnya asyik. Kalau terkadang ada yang melihatnya santai karena sering keluar daerah atau jam kerja yang tidak ditentukan, itu karena I make it that way. Kalau mau kerja di media dan berharap orang lain akan membuat kamu bahagia, berarti kamu berada di tempat yang salah. Saya rasa ini berlaku untuk semua jenis kerjaan. Semua kerjaan, suka tidak suka, mau tidak mau, ya pasti punya rasa tidak nyamannya masing-masing. Ya, kenyamanan harus diciptakan sendiri. Ibarat rumah, apakah kalian akan memaksa rumah menjadi nyaman ditinggali atau kalian yang membuat rumah nyaman ditinggali? Tinggal dipilih.

Apa pun kerjaan kalian, sebaiknya jangan kebanyakan membandingkan dengan kerjaan orang lain, jangan kebanyakan mengeluh, dan bersyukurlah. Saya selalu percaya semua pekerjaan punya kekurangan dan kelebihannya, terutama pekerjaan kantor yang jadwalnya jelas. Sementara kami, anak media, yang katanya enak, leyeh-leyeh, dan banyak uang itu, tidak seperti yang kalian bayangkan. Cuma memang, kami menciptakan kesenangan diri sendiri, itulah yang mungkin membuat kami terlihat bekerja dengan enak.

Kamis, 17 Desember 2015

Maaf, Saya Sibuk!

Saya pernah membaca postingan di sosial media. Bunyinya kira-kira seperti ini, ada satu titik dimana kita akan menengok ke belakang. Teman-teman yang dulu selalu bersama satu per satu hilang, bahkan merasa “is it just me?”. Mulai dari yang saling sapa, bertemu setiap hari, tertawa bersama, foto bersama sampai makan bersama. Kelak semua akan sibuk sendiri-sendiri, mau bertemu susah, bahkan mau menyapa juga susah. Kalau sudah seperti ini, mau salahkan siapa? Tidak ada! Memang semua masanya sudah habis.

Sambil menghela nafas panjang, saya seakan memutar kembali kenangan yang ada di otak. Saya kemudian mencoba mengingat-ingat kapan terakhir saya berkumpul, tertawa bersama, atau hanya sekadar bercerita lepas sepanjang malam bersama mereka. Mereka yang sering menjengkelkan ternyata membuat saya rindu. Mereka adalah teman-teman saya di bangku SMA.

Setelah lulus di SMA dan melanjutkan pendidikan ke Universitas pilihan masing-masing, kami masih sering bertemu walaupun tidak sesering waktu SMA dulu. Kami menyempatkan bertemu seminggu dua kali atau seminggu sekali. Kami rasa itu sudah cukup, karena padatnya jadwal sebagai mahasiswa baru.

Mungkin dapat dimaklumi, sebagai mahasiswa baru, banyak kegiatan-kegiatan kampus yang harus kami ikuti. Alibi pertama yang kuat untuk dijadikan alasan jarang bertemu. Ini juga yang  menjadi awal alasan-alasan berikutnya.

Bergabung di kegiatan extrakurikuler atau organisasi kampus ditambah dengan tugas yang begitu banyak semakin membuat kami jauh. Bertemu dengan kawan-kawan yang baru semakin membuat kami saling “melupakan” satu sama lain. Sepertinya masa perkawanan kami saat SMA telah habis.

Tapi, saya dan beberapa teman sesungguhnya tidak menginginkan masa perkawanan kami memiliki waktu kadaluarsa. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak terlibat dalam organisasi kampus.  Dengan begitu, saya tidak sesibuk yang lainnya.

Mengambil inisiatif untuk mengumpulkan mereka semua, ternyata tidak segampang yang saya kira. Mencari waktu kosong mereka dan menyesuaikan dengan yang lain ternyata sangat susah. Ketika mereka diajak untuk bertemu, jawaban yang saya dapat hanya berupa ungkapan maaf, “Maaf, saya ada kegiatan kampus” atau “Maaf, tugas kampus saya begitu banyak Jawaban yang membuat darah saya naik ke ubun-ubun. Sambil bergumam dalam hati “Belum jadi apa-apa saja, susahnya minta ampun untuk ketemu. Bagaimana kalau mereka sudah jadi orang terkenal?”.

Akhirnya, saya putuskan untuk mencari kesibukan sendiri berusaha menghilangkan kekesalan yang terbawa selama berminggu-minggu hingga lupa bahwa saya pernah marah soal itu.

***

Dua tahun kemudian

Memutuskan untuk kuliah sambil kerja ternyata membuat saya semakin sibuk, bahan lebih sibuk dibanding dengan yang lain. Kampus dan kantor menjadi saksi keseharian saya. Sementara mereka sekadar  aktif di dunia kampus saja atau cukup memilih untuk berkarir dulu.

Membagi waktu antara kuliah, kerja, berkumpul bersama teman-teman bahkan berkumpul bersama keluarga pun susah. Ternyata bekerja sebagai buruh media membuat waktu tidak cukup untuk melakukan hal lain diluar pekerjaan saya. Kalaupun bisa, saya harus pintar-pintar untuk membagi waktu, mengingat tubuh saya juga memiliki hak untuk istirahat sejenak.

Bekerja dari hari Senin sampai Sabtu, atau bahkan dari Senin hingga ke Seninnya lagi pernah saya alami. Sejak pagi hingga malam, bahkan berjumpa pagi lagi, juga pernah saya lakukan. Rutinitas yang begitu padat membuat saya jarang bersosialisasi dengan teman-teman lama bahkan dengan keluarga.

Pernah sekali, ada acara pernikahan sepupu, semua keluarga berkumpul dan mengenakan pakaian seragam yang telah dijahit jauh hari sebelumnya. Saya datang terlambat, bahkan sangat terlambat, dan masih mengenakan pakaian kantor. Berhubung waktu itu saya baru pulang liputan di luar kota dan belum sempat mengganti pakaian karena takut terlambat datang ke acara resepsi pernikahan sepupu. Alhasil, setelah acara selesai, saya mendapat wejangan-wejangan panjang dari tante dan om bahwa keluarga harus dinomor satukan.

Lain halnya dengan teman-teman yang dulu terlalu sibuk. Dunia memang berputar, dan keadaan tidak selalu sama. Mereka yang dulu sibuk kini malah sering mengajak untuk bertatap muka. Kali ini giliran saya yang mengatakan “maaf” kepada mereka. Bukan untuk balas dendam, tapi memang keadaan yang tidak memungkinkan untuk dapat bertemu dengan mereka.

Mungkin apa yang saya rasakan waktu itu, sekarang dirasakan juga oleh mereka. Tapi mau dikata apa lagi, memang waktu saya tidak cukup banyak untuk berleha-leha bersama mereka.

Banyak peristiwa-peristiwa penting yang mereka lalui dan saya melewatkannya. Mulai dari wisuda mereka, pernikahan teman yang tak sempat saya hadiri hingga peristiwa-peristiwa lainnya.

Beberapa kali saya merasa tidak memiliki teman karena selalu sibuk. Terlalu tak acuh terhadap lingkungan luar dan hanya berkutat dilingkungan yang itu-itu saja, membuat saya tidak peka terhadap mereka, terhadap keluarga.

Beruntung memiliki teman-teman dan keluarga yang selalu mendukung ketika saya merasa tidak memiliki mereka. Selalu berusaha menjaga silahturahmi walaupun beberapa kali saya menolak ajakan mereka dengan alasan sibuk atau tak punya waktu. Bahkan rumah hanya dijadikan tempat singgah untuk tidur ataupun untuk bersembunyi dari segala panggilan kantor.

Entah berapa kali ucapan “maaf” saya lontarkan untuk menolak ajakan mereka. Namun demikian, mereka tetap mengerti dan berusaha untuk bertemu, walaupun terkadang harus menunggu saya datang hingga larut malam.

Mencari uang bekerja sebagai buruh media memang menjadi salah satu impian saya, tapi tidak membuat saya untuk melupakan dunia di luar pekerjaan saya. Saya sadar dengan semakin banyak waktu yang saya habiskan didunia kerja, maka semakin banyak hal yang saya lewatkan bersama teman-teman dan keluarga. Menjadi orang asing di lingkungan sendiri itu sangat tidak menyenangkan.

Banyak hal yang saya dapatkan dari beberapa tahun belakangan, dimana saya sedang sibuk-sibuknya dan melupakan bersosialisasi dengan yang lain. Mendapatkan yang benar-benar teman dan merasakan bahwa keluarga memang segalanya. Materi dan prestasi yang saya dapatkan tidak membuat mereka cukup bangga. Kehadiran, kepedulian dan dianggap memang penting dibandingkan dengan kerjaan. Itu merupakan suatu hal yang membuat mereka merasa lebih berarti dan bangga memiliki saya.


Setidaknya, saya mulai belajar untuk tidak melontarkan kata “Maaf, saya sibuk” ketika ada ajakan. Saya pernah meraskan arti dari sebuah kata penolakan, dan itu tidak baik.
 

Traveller | Owlry Template by Ipietoon Cute Blog Design